Entri Populer

Minggu, 13 Mei 2012

Administrasi Publik Vs Manajemen Publik

          Secara teori, konsep dan paradigma, administrasi publik mengalami perkembangan yang cukup cepat. Keilmuwan administrasi publik di Indonesia berlangsung dalam kondisi yang dinamis sudah terasa sejak terjadinya reformasi politik di Indonesia yang ditandai dengan lengsernya Orde Baru tahun 1998 hingga saat ini, dialektika keilmuwan administrasi terjadi begitu hangat. Dalam konteks kekinian, perkembangan dan dinamika yang sangat menarik untuk disoroti adalah dialektika dan perdebatan tentang administrasi ”negara” dan administrasi ”publik”.
Dalam pengertiannya yang klasik, administrasi publik dipahami sebagai implementasi kebijakan yang dibuat oleh pejabat publik, penggunaan kekuasaan untuk memaksakan aturan untuk menjamin kebaikan publik dan relasi antara publik dan birokrasi yang telah ditunjuk untuk melaksanakan kepentingan bersama. Administrasi publik dibentuk untuk menyelenggarakan kepentingan publik dan melayani publik. Pada prinsipnya, administrasi publik dibentuk untuk mengabdi kepada publik dan tidak boleh memihak kepada salah satu kepentingan politik apapun, dengan alasan apapun. Administrasi publik harus netral dan tidak partisan agar pelayanan kepada publik dapat dilakukan dengan adil tanpa membeda-bedakan satus sosial, jabatan dan preferensi politik seseorang.
Lalu pada titik ini muncul pertanyaan, siapa publik itu? Publik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat luas dan kepentingan orang banyak. Publik bisa berarti negara berserta otoritas dan alat kelengkapannya, organisasi masyarakat sipil, organisasi privat, organisasi pendidikan, organisasi keagamaan, bahkan organisasi terkecil seperti RT sekalipun merupakan manifestasi dari publik. Jadi adalah keliru apabila ada pendapat yang menyatakan bahwa publik itu hanyalah negara, di luar negara bukanlah publik. Konsep publik itu sendiri tidak hanya menjadi monopoli negara, tetapi lebih dari itu publik merupakan domain yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat secara luas.
Menurut hemat penulis, baik negara ataupun publik tidak menjadi masalah yang cukup berarti karena selama ini pun teori-teori yang digunakan baik untuk negara ataupun publik tidak berubah, yang dibutuhkan saat ini adalah praktek dari negara atupun publik tentang bagaimana melaksanakan penyelenggaraan dari sebuah negara agar penyelenggaraan tersebut menjadi efektif dan efisien.
Seiring dengan berjalannya pelaksanaan dari administrasi publik, muncul istilah manajemen publik yang merupakan studi terbaru dan merupakan bagian dari administrasi publik. Munculnya praktek manajemen publik dikarenakan adanya beberapa alasan di bawah ini:
a. Tuntutan agar pemerintah meningkatkan pelayanannya kepada publik (publik service). Untuk itu pemerintahan harus bersih, transparan dan rasional (clean government).
b.   Pergaulan internasional di era globalisasi menuntut efiesiensi, perubahan dalam cara berpikir (transparan), mental dan terutama prinsip kerja sama.
c.       Tuntutan reformasi perlu adanya birokrasi yang mengutamakan semangat desentralisasi dan rule of law.
d.      Diperlukan birokrasi pemerintah dan aparat yang profesional.
Selain hal tersebut, administrasi publik terkesan selalu terfokus pada bagaimana memanage dengan sebaik-baiknya kewenangan yang dimiliki negara sehingga timbul pemahaman bahwa aparatur negara yang harus mendapat pelayanan sedangkan aspek public service kurang tersentuh. Faktor-faktor inilah yang manjadi salah satu pendorong lahirnya manajemen publik yang lebih mengedepankan pelayanan kepada masyarakat.
            Berbicara mengenai pembedaan antara administrasi publik dengan manajemen publik dapat dilihat dari dua sisi baik dari sisi material dan sisi formal. Dilihat dari sisi material administrasi publik dan manajemen publik sama-sama berbicara mengenai negara, pemerintah dan yang diperintah sedangkan bila dilihat dari sisi formalnya, administrasi publik berfokus pada suatu kajian yang lebih dahulu muncul (paradigma lama) dan bersifat lebih luas/umum mengenai penyelenggaraan suatu negara sedangkan manajemen publik merupakan konsep yang lebih baru (paradigma baru) dan khusus dari administrasi publik, merupakan bagian dari administrasi dan lebih khusus ruang lingkupnya yang berbicara mengenai pencapaian target dan tanggung jawab seorang pimpinan untuk mencapai target dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai suatu tuntutan akan perbaikan kinerja pemerintah terutama dengan merujuk pada praktik yang berlangsung di dunia bisnis/swasta demi terwujudnya produktivitas dan akuntabilitas pemerintahan.
            Praktek manajemen publik di Indonesia salah satunya dapat dilihat dari pelaksanaan public service  di Indonesia. Pelayanan publik di Indonesia masih terlihat buruk karena tidak adanya paradigma yang jelas dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kinerja pelayanan yang diberikan birokrasi yang ada di Indonesia masih cukp kuat watak mengabdi kepada kekuasaan (state oriented) dibandingkan kepada publik (public oriented). Dengan situasi birokrasi yang demikian tentu dalam pelasanaan pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi jauh dari kesan demokratis dan berkualitas yang Nampak adalah kesan diskriminatif.
            Pelayanan publik di Indonesia jika ditelaah memiliki permasalahan mendasar, diantaranya:
a.       Rendahnya kualitas pelayanan. Tidak dapat dipungkiri lagi kualitas produk dan banyak yang tidak layak  lagi digunakan oleh masyarakat. Walaupun pada akhirnya masyarakat tetap menggunakan produk tersebut karena ketiadaan alternatif, seperti produk air oleh PDAM.
b.   Rendahnya kualitas penyelenggaraan layanan. Jika dikaji, hal ini diakibatkan paradigma yang tidak memposisikan masyarakat sebagai tujuan sekaligus subjek dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Masyarakat diperlakukan sebagai pihak yang tidak mempunyai daya tawar, seperti birokratisasi di bidang kesehatan.
c.   Ketiadaan akses bagi kelompok rentan, penyandang cacat dan komunitas adat terpencil. Seperti perubahan fungsi sosial rumah sakit dan puskesmas menjadi lembaga korporasi kesehatan yang mengakibatkan hilangnya nilai kemanusiaan di samping biaya yang semakin mahal
d.      Ketiadaan mekanisme komplain dan sengketa.
e.       Ketiadaan ruang partisipasi publik.
Hal-hal tersebut di atas merupakan gambaran kecil dari salah satu bagian manejemen publik yaitu pelayanan publik yang mewarnai kehidupan masyarakat di Indonesia. Oleh sebab itu dibutuhkan manajemen publik yang baik demi mencapai tujuan dari administrasi publi yaitu utnuk memberikan pelayanan publik yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Reformasi Pelayanan Publik Bagi Kelompok Rentan di Indonesia


Dipresentasikan pada Konferensi Administrasi Negara (KAN) 2011 di Makasar
 
Abstrak

Inti dari adanya pemerintahan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat. Bagaimanapun tugas pemerintah ialah memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dalam keadaan apapun. Tulisan ini mengkaji bagaimana fenomena pelayanan publik yang terjadi di Indonesia beserta situasi di dalam pemerintahan yang dapat mengakibatkan baik buruknya pelayanan publik bagi masyarakat terutama bagi kelompok rentan yang selama ini belum terlihat adanya political will yang kuat mengenai pemberian pelayanan publik bagi kelompok tersebut seperti penyandang cacat, para lansia (lanjut usia), wanita, anak, minoritas, dan juga suku terasing yang aksesibilitas pelayanan menuju kelompok rentan yang mandiri masih belum sepenuhnya mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah. Dalam hal ini penulis memfokuskan pada para penyandang cacat dan lansia.
Selama ini penyandang cacat dan lansia sangat sulit untuk mengakses pelayanan publik yang notabene mereka dapatkan dari berlakunya UU Pelayanan Publik. Alasannya sangat klasik, yaitu para penyelenggara khususnya (swasta) tidak menyediakan pelayanan publik untuk mereka. Padahal akses pelayanan publik bagi kelompok rentan diatur dalam pasal 25 tentang pelayanan khusus. Dalam hal ini, relasi hubungan korporasi (swasta) dengan pemerintah harus diperkuat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peningkatan kerjasama ini dapat berupa komitmen oleh korporasi untuk membuat pelayanan publik bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan terutama bagi para penyandang cacat dan lansia.

Kata kunci:
Reformasi, pelayanan publik, kelompok rentan, penyandang cacat, lansia

 
I.         Pendahuluan

Saat ini, dengan adanya perubahan pemerintahan dari orde lama ke orde baru sampai kepada era reformasi menandakan bahwa di Indonesia sudah terjadi perubahan paradigma. Dapat diketahui bahwa era reformasi menuntut adanya pembagian kekuasaan (desentralisasi), pelayanan publik yang baik, dan partisipasi masyarakat yang tinggi dalam segala hal. Hal ini merupakan ciri dari paradigma New Public Service (NPS).
Berbicara mengenai pelayanan publik di Indonesia, jika ditelaah secara umm memiliki permasalahan mendasar. Pertama, rendahnya kualitas pelayanan. Tak dapat dipungkiri lagi kualitas produk layanan publik, kualitasnya tidak layak untuk digunakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat pada akhirnya tetap menggunakan produk tersebut dikarenakan ketiadaan alternatif layanan publik lainnya. Rendahnya kualitas dapat terlihat dari beberapa pelayanan publik mendasar seperti air, kesehatan, pendidikan dan transportasi. Ketersediaan air bagi masyarakat merupakan kebutuhan vital yang menopang hidup manusia. Kualitas air yang disalurkan PDAM tidak layak untuk diminum seperti di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Walaupun PDAM telah melakukan purifikasi air tetapi ketika pipa yang menyalurkan air telah berkarat, maka air diterima masyarakat telah tercemar.
Kedua, rendahnya kualitas penyelenggaraan layanan. Jika dikaji, hal ini di akibatkan paradigma yang tidak memposisikan masyarakat sebagai tujuan sekaligus subyek dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Masyarakat diperlakukan sebagai pihak yang tidak mempunyai daya tawar. Prosedur yang berbelit-belit, biaya mahal, ketiadaan standar pelayanan merupakan ciri umum penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Hak sipil warga sering dilanggar dalam proses pengurusan identitas penduduk seperti KTP, akte kenal lahir dan paspor. Pembuatan KTP yang seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan rangkaian prosedur yang harus dilalui. Birokratisasi di bidang kesehatan melahirkan cerita-cerita yang tak kalah memilukan, seorang pasien yang sudah dalam keadaan kritis harus menunggu kejelasan proses administratif sebelum mendapat perawatan yang layak dari pihak rumah sakit. Keluhan-keluhan seperti inilah yang sering muncul dari masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Ketiga, ketiadaan mekanisme komplain dan penyelesaian sengketa. Selama ini masyarakat tidak diposisikan sebagai subjek dalam penyelenggaraan pelayanan publik maka keluhan masyarakat tidak dianggap penting. Tak hanya dalam penanganan keluhan, sengketa antar masyarakat sebagai penerima layanan dengan penyelenggaraan sering berakhir dengan kalahnya masyarakat ataupun proses hukumnya terkatung-katung di pengadilan.
Keempat, ketiadaan ruang partisipasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan. Partisipasi publik bertujuan untuk memempatkan masyarakat sebagai subyek. Penempatan masyarakat sebagai subyek dalam pelayanan publik perlu dilakukan sebagai proses revisi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang selama ini hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah dengan tanpa melibatkan masyarakat dalam setiap prosesnya.
Kelima, yaitu hal yang terakhir yang menjadi fokus dalam penulisan ini ialah ketiadaan akses bagi kelompok rentan, penyandang cacat dan komunitas adat terpencil. Permasalahan kelima inilah yang sering menjadi dasar permasalahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Sebagai ilustrasi dalam bidang kesehatan, perubahan fungsi sosial rumah sakit dan puskesmas menjadi lembaga korporasi kesehatan yang mengakibatkan hilangnya nilai kemanusiaan di samping  biaya yang semakin mahal. Padahal rumah sakit pemerintah menjadi tujuan terakhir kelompok rentan untuk mencari pengobatan. Banyak tenaga medis dan juga rumah sakit menanyakan kejelasan siapa yang akan menanggung pembiayaan perawatan pasien sebelum menangani pasien. Banyak pasien telah menjadi korban karena kelalaian  petugas medis di ruamah sakit diakibatkan oleh rendahnya kualitas kinerja petugas medis atau paramedis.
Aksesibilitas pelayanan publik bagi kelompok penyandang cacat sangat minim. Hampir semua sarana dan prasarana publik, seperti jalan, gedung, toilet umum jembatan penyebrangan, terminal, transportasi umum dan lain sebagainya, tidak mempunyai fasilitas bagi penyandang cacat. Hal ini merupakan proses dehumanisasi dan peminggiran bagi penyandang cacat sehingga menjadi tergantung kepada yang lain, yang seharusnya dapat dilakukan mandiri.


II.      Kondisi Obyektif Kelompok Rentan
Kelompok rentan yang antara lain mencakup anak, kelompok perempuan rentan, penyandang cacat, dan kelompok minoritas. Untuk memberikan gambaran keempat kelompok masyarakat tersebut selama ini, maka penelaahan perlu diawali dengan mengetahui keadaan sebenarnya yang terjadi di dalam masyarakat.
2.1  Anak
Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak. Menurut Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2002, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan". Sedangkan menurut Pasal 1 KHA / Keppres No.36 Tahun 1990 "anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal". Disamping itu menurut pasal 1 ayat 5 UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, "anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya".

2.2     Kelompok Perempuan Rentan
Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No.39 tahun 1999 disebutkan bahwa yang termasuk kelompok rentan adalah orang lansia, anak-anak, fakir-miskin,wanita hamil, dan penyandang cacat. Oleh karena itu secara eksplisit hanya wanita hamil yang termasuk Kelompok Rentan. Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai: (1) mudah terkena penyakit dan (2) peka, mudah merasa.
Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.
 2.3     Penyandang Cacat
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal : (a) Penyandang cacat fisik; (b) Penyandang
cacat mental; (c) Penyandang cacat fisik dan mental.
 2.4  Kelompok Minoritas
Definisi mengenai kelompok minoritas sampai saat ini belum dapat diterima secara universal. Namun demikian yang lazim digunakan dalam suatu negara, kelompok
minoritas adalah kelompok individu yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk. Minoritas sebagai 'kelompok' yang dilihat dari jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
penduduk lainnya dari negara bersangkutan dalam posisi yang tidak dominan.
Keanggotaannya memiliki karakteristik etnis, agama, maupun bahasa yang berbeda dengan populasi lainnya dan menunjukkan setidaknya secara implisit sikap solidaritas yang ditujukan pada melestarikan budaya, tradisi, agama dan bahasa. Sehubungan dengan hal tersebut beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini sering muncul kerusuhan sosial yang dilatarbelakangi etnis dan agama. Hal ini merupakan masalah yang sangat serius apabila tidak segera diselesaikan akan dapat mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, permasalahan yang dihadapi berbagai daerah di Indonesia adalah masih banyak terjadi diskriminasi terhadap hak-hakkelompok minoritas, baik agama, suku, ras dan yang berkenaan dengan jabatan dan pekerjaan bagi penyandang cacat, sehingga sampai saat ini dirasakan masih 'belum terpenuhinya hak-hak kelompok minoritas'.


III.    Pembahasan
Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa masih dijumpai keadaan dari kelompok rentan yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Saat ini belum ada upaya dari pemerintah dalam memberikan pelayanan guna mencapai pemenuhan hak-hak dari kelompok rentan terutama yang menjadi fokus penulis yaitu bagi penyandang cacat dn para lansia.
Dengan adanya UU No 25 Tahun 2010 tentang Pelayanan Publik di Indonesia tentunya memberikan regulasi baru sekaligus saluran formal dalam mengapresiasi pelayanan publik yang diterima oleh masyarakat. Keberatan kita akan pelayanan publik yang kita dapatkan, saat ini dapat disalurkan melalui komisi Ombushment maupun pembentukan lembaga lain yang difungsikan sebagai sarana pengaduan. Kedua, peran negara dalam UU Pelayanan Publik juga mulai teridentifikasi bukan hanya sebagai regulator semata, namun juga mengarah kepada fasilitator. Ketiga, mekanisme penanganan dan penyelesaian pengaduan juga lebih terorganisir, serta jelas dan rapi.
            Namun demikian, di dalam UU pelayanan Publik ini masalah yang berkaitan dengan pelayanan publik bagi kelompok rentan masih sangat minim pembahasannya dan dalam pelaksanaannya pun belum banyak terlihat aksesibilitas pelayanan bagi kelompok rentan terutama bagi penyandang cacat dan para lansia (lanjut usia).
        Berkaitan dengan accessible pelayanan publik bagi semua penggunannya. Pembedaan penyelenggaraan pelayanan publik bagi kelompok rentan dengan masyarakat umum justru menjadi hambatan bagi keduanya untuk memaksimalkan pelayanan yang disediakan negara. Dari kacamata kelompok rentan, mereka tidak ada masalah ketika masyarakat umum menikmati pelayanan yang diperuntukan bagi kelompok rentan. Begitupun sebaliknya. Hanya, selama ini kelompok rentan sangat sulit untuk mengakses pelayanan publik yang notabene mereka dapatkan dari berlakunya UU Pelayanan Publik. Alasannya sangat klasik, yaitu para penyelenggara khususnya (swasta) tidak menyediakan pelayanan publik untuk mereka. Padahal akses pelayanan publik bagi kelompok rentan diatur dalam pasal 25 tentang pelayanan khusus. Dalam hal ini, relasi hubungan korporasi (swasta) dengan pemerintah harus diperkuat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peningkatan kerjasama ini dapat berupa komitmen oleh korporasi untuk membuat pelayanan publik bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan. Memang cukup sulit jika harus menyediakan sarana dan prasarana pelayanan publik bagi dua kelompok yang berbeda. Solusinya dapat dilakukan dengan mendesain semua pelayanan publik yang ada dapat diakses oleh semua orang.
            Untuk itu perlu dilakukan reformasi pelayanan publik yang didalamnya merupakan perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi dalam pelayanan publik, antara lain kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas aparatur, pengawasan. Hal yang penting dalam reformasi pelayanan publik adalah perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja. Hal-hal yang berkaitan dengan reformasi pelayanan publik bagi kelompok rentan, pertama perlu dilakukan perbaikan sumber daya manusia yang mana sumber daya manusia yang memberikan pelayanan kepada publik harus berkualitas, bermoral serta memiliki keinginan untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan juga sumber daya manusia harus disiapkan untuk memberikan pelayanan publik bagi kelompok rentan terutama para penyandang cacat dan lansia. Kedua, berkaitan dengan public policy yang mana kebijakan harus dibuat berdasarkan kehendak, kepentingan dan kebaikan masyarakat secara luas bukan hanya untuk kepentingan pemerintah. UU pelayanan publik bagi kelompok rentan terutama bagi penyandang cacat dan lansia perlu diberikan realisasi secara nyata dalam bentuk aksesibilitas pelayanan publik sehingga membuat mereka tidak bergantung kepada orang lain dan haknya untuk dilayani menjadi terlaksanakan dengan baik.


IV.    Kesimpulan
            Dari pemaparan yang telah penulis sampaikan, dapat terlihat bahwa pemerintah ternyata belum menjadikan pelayanan publik di Indonesia berjalan dengan baik, masih sangat banyak pihak yang tidak dilayani terutama kelompok rentan khusunya para penyandang cacat dan lansia. Fasilitas-fasilitas pelayanan publik belum dapat digunakan oleh seluruh pihak sehingga dapat dikatakan pelayanan pubik di Indonesia belum berorientasi kepada kelompok rentan.
            Untuk itu perlu dilakukan reformasi dalam pelayanan publik untuk mewujudkan aparat dan pelayanan publik yang baik dan siap untuk melayani kelompok rentan yang harus dibangun adalah dengan melakukan perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja bagi aparat yang memberikan pelayanan publik, sehingga muncul kesadaran yang tinggi dari aparatur untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat dan tidak membeda-bedakan masyarakat baik itu kelopmpok rentan.


 Daftar Pustaka

Ibrahim, Amin. 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik. Bandung: Mandar Maju.
Islamy, Irfan. 2000. Dasar-dasar Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kurniawan, Lutfi. dan Mokhammad Najih. 2008. Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik.
Lukman, Sampara. 1999. Manajemen Kualitas Pelayanan, Jakarta : STIA-LAN.
Ratminto. dan Atik Septi Winarsih. 2008. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah. Bandung: Fokus Media.
Yamir, Zulian. 2001. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Yogyakarta: Ekonisia.


Selasa, 04 Januari 2011

Korupsi "Franklin"


      Policy Implementation atau implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Ripley & Franklin memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kebijakan.
       Pendekatan kepatuhan memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasi. Menurut Ripley & Franklin, terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni:
(1)   banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi justru kurang diperhatikan
(2)   adanya program yang tidak didesain dengan baik
            Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan implementor agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian.
Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor non-organisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
   Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu:
(1)   kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan
(2)  kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam  menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual
            Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan process driven approach (pendekatan proses implementasi) yang berkaitan dengan perspektif kepatuhan dan goals driven approach (pendekatan hasil) yang berkaitan dengan perspektif faktual. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.
            Melihat dari pemahaman mengenai implementasi kebijakan yang dikemukan oleh Ripley & Franklin, dapat kita ketahui bahwa dalam kaitannya dengan kasus korupsi yang banyak terjadi di negara Indonesia, korupsi saat ini hanya dilihat dari perspektif kepatuhan seorang aparatur terhadap peraturan atau atasannya, tetapi banyak yang tidak melihat dari perspektif faktualnya, akan tujuan dan manfaat yang dicapainya, padahal menurut Riant Nugroho, implementasi kebijakan adalah cara sebuah kebujakan dapat mencapai tujuannya.
            Ironis sekali bila kita melihat kasus-kasus korupsi saat ini, yang mana walaupun tujuan sudah tercapai namun sering kali aparat yang dapat mewujudkan tujuan tersebut dicap sebagai koruptor hanya karena dia tidak melaksanakan ketentuan atau prosedur yang berlaku.
            Salah satu contohnya adalah kasus SISMINBAKUM (Sistem Administrasi Badan Hukum) yang melibatkan banyak pejabat di Kementerian Hukum dan HAM pada masa pemerintahan Abdulrahman Wahid yang pada waktu itu jabatan menterinya adalah Yusri Ihza Mahendra. Sementara itu para pejabat yang di tuduhkan terlibat korupsi dari pengadaan SISMINBAKUM ini diantaranya Zulkarnaen Yunus,Syamsudin Manan Sinaga, Romli Atmasasmita dan sekarang Yusril Ihza Mahendra.
            Namun, jika ditelaah kasus ini bermula pada terobosan Menteri Hukum dan HAM yang ingin mempercepat proses pembuatan izin pendirian perusahaan (PT) di Kementerian Hukum dan HAM, yang semula proses pembuatan izin tersebut bisa memerlukan waktu beberapa minggu bahkan beberapa bulan dan ada yang sampai tahunan untuk mendapatkan izin pendirian perusahaan tersebut menjadi badan hukum.      Dengan adanya sisminbakum ini proses pembuatan surat izin pendirian sebuah perusahaan akan sangat cepat berkisar dua hingga tiga hari, sebab dengan menggunakan teknologi informasi secara online diseluruh Indonesia membuat para notaris baik di kota maupun di daerah tidak perlu untuk bolak-balik ke kantor Kementrian Hukum dan HAM di Jakarta untuk mengurusi perizinan tersebut, namun cukup mendaftar secara online melalui teknologi informasi dalam hal ini internet sehingga dapat dengan mudah mendaftarkan perusahaan yang akan didirikan dan mengeceknya ke bank data pusat di Kementerian Hukum dan HAM dengan sekali klik saja, sehingga menekan biaya administrasi jika dilakukan secara manual.
            Namun, dalam kenyataanya terobosan tersebut nyatanya tetap saja dipermasalahkan dengan ditetapkanya beberapa mantan pejabat di Kementerian Hukum dan HAM sebagai tindak pidana dan dengan dakwaan merugikan keuangan negara. Padahal pada saat pembuatan sistem tersebut negara dalam keadaan krisis dan tidak mempunya keuangan yang cukup untuk membuat sistem tersebut, sehingga dengan kebijakan presiden Abdulrahman Wahid akhirnya Kementerian Hukum dan HAM menggandeng pihak swasta untuk mengelola sisminbakum baik dari segi pendanaan serta bekerjasama dengan koperasi di Kementerian Hukum dan HAM sebagai rekanan, dan kepanjangtanganan dari Kementrian Hukum dan HAM. Sehingga dalam hal ini tidak ada uang negara (APBN) yang masuk untuk mendanai proses berjalanya sisminbakum ini.
            Selain kasus tersebut, kita bisa melihat pada kasus pengadaan tinta pemilu legislatif Tahun 2004, yang menyeret seorang guru besar yang bernama Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira. Dalam kasus ini, Prof. Rusadi dijerat dengan tuduhan penunjukan langsung terhadap rekanan, yang mana dalam proses penunjukan kangsung yang diatur dalam Kepres No. 80 Tahun 2003 haruslah menunjuk tidak lebih dari satu rekanan, namun Prof. Rusadi melakukan penunjukan langsung kepada 7 rekanan, 4 rekanan untuk tinta impor dan 3 rekanan untuk tinta lokal.
            Bila kita melihat kasus ini dari pendekatan kepatuhan, tentunya Prof. Rusadi melanggar ketentuan dari Kepres tersebut, namun disisi lain kita juga harus melihat kondisi yang terjadi pada pemilu legislatif tersebut yang mana pada saat itu, partai politik yang mengikut pemilu cukup banyak yaitu sebanyak 24 partai tentunya secara logika dibutuhkan pasokan tinta yang sangat banyak. Disisi lain Kepres ini baru diundangkan pada November 2003 sedangkan pada bulan Januari 2004 proses kegiatan KPU telah berjalan sehingga dibutuhkan waktu yang sangat cepat untuk memahami Kepres tersebut. Masalah lain yang terjadi pada saat itu, anggaran yang turun untuk pemilu ini datangnya terlambat. Oleh sebab itu panitia memutuskan untuk melakukan penunjukan langsung kepada tujuh rekanan karena dalam waktu sebulan pasokan tinta harus sudah tersedia, dan hal ini bisa dilakukan bila panitia menujuk rekanan lebih dari satu.
            Di dalam Administrasi Negara keputusan yang diambil ini dikuatkan dengan istilah yang disebut diskresi (freises ermessen), yaitu keleluasaan/kebebasan bagi eksekutif untuk bertindak/tidak bertindak bila terjadi suatu kemndegan. Hal ini juga sesuai dengan teori dari Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan adalah government choose to do or not choose to do. Jadi pemerintah berhak untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu hal.
            Dalam kasus ini, hukum tidak melihat adanya diskresi tersebut dan juga tidak melihat pendekatan yang kedua yaitu faktual. Dengan diskresi yang dilakukan olehRusadi, pelaksanaan pemilu menjadi berjalan tepat waktu, nama baik Indonesia di mata dunia tetap terjaga, dana yang digunakan lebih kecil dibandingkan pemilu Tahun 1999, mutunya pun jauh lebih baik. Hukum di sini hanya menilai dari pendekatan yang pertama saja, hukum juga tidak melihat bahwa tujuan dari pengadaan barang dan jasa adalah tepat target, dana, mutu, waktu, dan manfaat sudah tercapai.

Public Private Partnership


           Berbicara mengenai Public Private Partnerships (PPPs) tentunya mengingatkan kita terhadap kegiatan “Indonesia Infrastructure Summit di Jakarta, 14 – 17 April 2010 beberapa bulan yang lalu. Maksudnya jelas, yaitu untuk mensosialisasikan konsep Public Private Partnerships (PPPs) dan mengundang minat investor swasta untuk bekerjasama dalam penyediaan infrastruktur (seperti jalan tol, energi listrik, pelabuhan udara dan sebagainya) di Indonesia.
            Arti dari Public Private Partnerships (PPPs) itu sendiri tentunya tidak asing, diantaranya dapat dilihat pengertian dari William J. Parente dari USAID Environmental Services Program, definisi PPPs adalah:
            an agreement or contract, between a public entity and a private party, under which: (a) private party undertakes government function for specified period of time, (b) the private party receives compensation for performing the function, directly or indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from performing the function and, (d) the public facilities, land or other resources may be transferred or made available to the private party.
            Jadi Public Private Partnerships (PPPs) merupakan suatu persetujuan atau kontrak, antara kesatuan masyarakat yang diwakili oleh pemerintah dengan sektor swasta untuk menyediakan layanan publik dengan sumber biaya ditanggung oleh pengguna jasa dan bukan oleh pembayar pajak, dengan ketentuan lain sebagai berikut:
1.    Pihak swasta menjalankan fungsi pemerintah untuk periode waktu tertentu.
2.    Pihak swasta mendapatkan kompensasi dari pelaksanaan fungsi tersebut baik secara langsung atau pun tidak langsung.
3.    Pihak swasta bertanggung jawab terhadap resiko dari pelaksanaan fungsi tersebut.
4.    Fasilitas publik, tanah ataupun sumber daya yang lain dapat digunakan oleh pihak swasta.
          Sebagai contoh untuk lebih memahami apa yang dimaksud PPPs, dapat dilihat dari salah satu kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam pembangunan rumah sakit. Dalam konsep PPPs, untuk membangun rumah sakit tersebut, seluruh biaya dan pembangunan rumah sakit ditanggung oleh pihak swasta dan kemudian disewakan kepada otoritas rumah sakit. Pihak swasta dalam pembangunan rumah sakit berperan sebagai tuan tanah, menyediakan layanan rumah tangga dan layanan non medis rumah sakit, sementara rumah sakit menyediakan layanan medis. Selanjutnya pihak swasta akan mendapatkan pembayaran/keuntungan dari pengguna jasa rumah sakit.
            Selain itu, di Indonesia, jenis proyek infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan investor swasta meliputi:
1.    Transportasi (pelabuhan laut, sungai atau danau, pelabuhan udara, jaringan rel dan stasiun kereta api).
2.    Jalan (jalan tol dan jembatan tol).
3.    Pengairan (saluran pembawa air baku).
4.    Air minum (bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum).
5.    Air limbah (instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama) serta sarana persampahan (pengangkut dan tempat pembuangan).
6.    Telekomunikasi (jaringan telekomunikasi).
7.    Ketenagalistrikan (pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik).
8.    Minyak dan gas bumi (pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi atau distribusi migas).
Adapun aturan mengenai PPPs terdapat pada Perpres 67 Tahun 2005. Dalam Perpres tersebut dinyatakan bahwa pelaksanaan PPPs dilakukan diantaranya berdasarkan prinsip: adil, terbuka, transparan, dan bersaing (competition). Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan transparency and competition, manfaat yang dapat diraih adalah:
1.    Terjaminnya mendapatkan harga pasar yang terendah (lowest market prices).
2.    Meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPPs.
3.    Mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan tanpa sovereign guarantees (jaminan pemerintah).
4.    Mengurangi risiko kegagalan proyek.
5.    Dapat membantu tertariknya bidders (penawar) yang sangat berpengalaman dan berkualitas tinggi.
6.    Mencegah aparat pemerintah dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dalam Perpres yang sama juga dijelaskan bahwa tujuan pelaksanaan PPPs adalah untuk:
1.    Mencukupi kebutuhan pendanaaan secara berkelanjutan melalui pengerahan dana swasta.
2.    Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat.
3.    meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan infrastruktur serta
4.    mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna.
Lalu, bagaimana dengan pelaksanaan di negara-negara lain? Pada tabel dibawah ini dikemukakan alasan berbagai negara yang memilih konsep PPPs. Dari tabel tersebut, bisa terlihat bahwa alasan memilih konsep PPPs itu bervariasi. Ada negara yang ingin meningkatkan lapangan kerja (India), ada yang ingin memperoleh teknologi baru atau berbagai alasan lainnya.
Negara yang Memilih PPPs
No
Negara
Alasan Memilih PPP
1
United States
To improve operational efficiencies
2
United Kingdom
To increase competition
3
South Korea
To access new and proven technologies
4
India
To create employment opportunities
5
Thailand
To provide services not currently provided
6
Philippines
To create transparent procurement
7
South Africa
Mobilize additional investment funds
Sumber: Parente, 2006.