Dipresentasikan pada Konferensi Administrasi Negara (KAN) 2011 di Makasar
Abstrak
Inti dari adanya
pemerintahan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik bagi
masyarakat. Bagaimanapun tugas pemerintah ialah memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya kepada masyarakat dalam keadaan apapun. Tulisan ini mengkaji bagaimana
fenomena pelayanan publik yang terjadi di Indonesia beserta situasi di dalam
pemerintahan yang dapat mengakibatkan baik buruknya pelayanan publik bagi masyarakat
terutama bagi kelompok rentan yang selama ini belum terlihat adanya political will yang kuat mengenai
pemberian pelayanan publik bagi kelompok tersebut seperti penyandang cacat,
para lansia (lanjut usia), wanita, anak, minoritas, dan juga suku terasing yang
aksesibilitas pelayanan menuju kelompok rentan yang mandiri masih belum sepenuhnya
mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah. Dalam hal ini penulis
memfokuskan pada para penyandang cacat dan lansia.
Selama ini penyandang
cacat dan lansia sangat sulit untuk mengakses pelayanan publik yang notabene
mereka dapatkan dari berlakunya UU Pelayanan Publik. Alasannya sangat klasik,
yaitu para penyelenggara khususnya (swasta) tidak menyediakan pelayanan publik
untuk mereka. Padahal akses pelayanan publik bagi kelompok rentan diatur dalam
pasal 25 tentang pelayanan khusus.
Dalam hal ini, relasi hubungan korporasi (swasta) dengan
pemerintah harus diperkuat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peningkatan
kerjasama ini dapat berupa komitmen oleh korporasi untuk membuat pelayanan
publik bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan terutama bagi para
penyandang cacat dan lansia.
Kata
kunci:
Reformasi, pelayanan publik,
kelompok rentan, penyandang cacat, lansia
I.
Pendahuluan
Saat
ini, dengan adanya perubahan pemerintahan dari orde lama ke orde baru sampai
kepada era reformasi menandakan bahwa di Indonesia sudah terjadi perubahan
paradigma. Dapat diketahui bahwa era reformasi menuntut adanya pembagian
kekuasaan (desentralisasi), pelayanan publik yang baik, dan partisipasi
masyarakat yang tinggi dalam segala hal. Hal ini merupakan ciri dari paradigma New Public Service
(NPS).
Berbicara mengenai pelayanan publik di Indonesia, jika ditelaah secara umm memiliki
permasalahan mendasar. Pertama,
rendahnya kualitas pelayanan. Tak dapat dipungkiri lagi kualitas produk layanan
publik, kualitasnya tidak layak untuk digunakan oleh masyarakat. Walaupun
masyarakat pada akhirnya tetap menggunakan produk tersebut dikarenakan
ketiadaan alternatif layanan publik lainnya. Rendahnya kualitas dapat terlihat
dari beberapa pelayanan publik mendasar seperti air, kesehatan, pendidikan dan
transportasi. Ketersediaan air bagi masyarakat merupakan kebutuhan vital yang
menopang hidup manusia. Kualitas air yang disalurkan PDAM tidak layak untuk
diminum seperti di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Walaupun PDAM telah
melakukan purifikasi air tetapi ketika pipa yang menyalurkan air telah
berkarat, maka air diterima masyarakat telah tercemar.
Kedua, rendahnya
kualitas penyelenggaraan layanan. Jika dikaji, hal ini di akibatkan paradigma
yang tidak memposisikan masyarakat sebagai tujuan sekaligus subyek dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Masyarakat diperlakukan sebagai pihak yang
tidak mempunyai daya tawar. Prosedur yang berbelit-belit, biaya mahal,
ketiadaan standar pelayanan merupakan ciri umum penyelenggaraan pelayanan
publik di Indonesia. Hak sipil warga sering dilanggar dalam proses pengurusan
identitas penduduk seperti KTP, akte kenal lahir dan paspor. Pembuatan KTP yang
seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan rangkaian prosedur yang
harus dilalui. Birokratisasi di bidang kesehatan melahirkan cerita-cerita yang
tak kalah memilukan, seorang pasien yang sudah dalam keadaan kritis harus
menunggu kejelasan proses administratif sebelum mendapat perawatan yang layak
dari pihak rumah sakit. Keluhan-keluhan seperti inilah yang sering muncul dari
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Ketiga, ketiadaan mekanisme komplain dan
penyelesaian sengketa. Selama ini masyarakat tidak diposisikan sebagai subjek
dalam penyelenggaraan pelayanan publik maka keluhan masyarakat tidak dianggap
penting. Tak hanya dalam penanganan keluhan, sengketa antar masyarakat sebagai
penerima layanan dengan penyelenggaraan sering berakhir dengan kalahnya
masyarakat ataupun proses hukumnya terkatung-katung di pengadilan.
Keempat, ketiadaan ruang partisipasi publik dalam
penyelenggaraan pelayanan. Partisipasi publik bertujuan untuk memempatkan
masyarakat sebagai subyek. Penempatan masyarakat sebagai subyek dalam pelayanan
publik perlu dilakukan sebagai proses revisi terhadap penyelenggaraan pelayanan
publik yang selama ini hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah dengan tanpa
melibatkan masyarakat dalam setiap prosesnya.
Kelima, yaitu hal yang terakhir yang menjadi fokus
dalam penulisan ini ialah
ketiadaan akses bagi kelompok rentan, penyandang cacat dan komunitas adat
terpencil. Permasalahan kelima inilah yang sering menjadi dasar permasalahan
dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Sebagai ilustrasi dalam
bidang kesehatan, perubahan fungsi sosial rumah sakit dan puskesmas menjadi
lembaga korporasi kesehatan yang mengakibatkan hilangnya nilai kemanusiaan di
samping biaya yang semakin mahal. Padahal
rumah sakit pemerintah menjadi tujuan terakhir kelompok rentan untuk mencari
pengobatan. Banyak tenaga medis dan juga rumah sakit menanyakan kejelasan siapa
yang akan menanggung pembiayaan perawatan pasien sebelum menangani pasien.
Banyak pasien telah menjadi korban karena kelalaian petugas medis di ruamah sakit diakibatkan
oleh rendahnya kualitas kinerja petugas medis atau paramedis.
Aksesibilitas
pelayanan publik bagi kelompok penyandang cacat sangat minim. Hampir semua
sarana dan prasarana publik, seperti jalan, gedung, toilet umum jembatan
penyebrangan, terminal, transportasi umum dan lain sebagainya, tidak mempunyai
fasilitas bagi penyandang cacat. Hal ini merupakan proses dehumanisasi dan
peminggiran bagi penyandang cacat sehingga menjadi tergantung kepada yang lain,
yang seharusnya dapat dilakukan mandiri.
II.
Kondisi Obyektif Kelompok Rentan
Kelompok rentan
yang antara lain mencakup anak, kelompok perempuan rentan, penyandang cacat,
dan kelompok minoritas. Untuk memberikan gambaran keempat kelompok masyarakat
tersebut selama ini, maka penelaahan perlu diawali dengan mengetahui keadaan
sebenarnya yang terjadi di dalam masyarakat.
2.1 Anak
Berbagai batasan
anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundangan yang berlaku di
Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut mempunyai implikasi
yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak. Menurut Pasal 1 ayat 1 UU
Nomor 23 Tahun 2002, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan". Sedangkan menurut
Pasal 1 KHA / Keppres No.36 Tahun 1990 "anak adalah setiap orang yang berusia
dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa
usia dewasa dicapai lebih awal". Disamping itu menurut pasal 1 ayat 5 UU
No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, "anak adalah setiap manusia yang berusia
dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya".
2.2 Kelompok Perempuan Rentan
Dalam Penjelasan
Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No.39 tahun 1999 disebutkan bahwa yang termasuk
kelompok rentan adalah orang lansia, anak-anak, fakir-miskin,wanita hamil, dan
penyandang cacat. Oleh karena itu secara eksplisit hanya wanita hamil yang
termasuk Kelompok Rentan. Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian
rentan sebagai: (1) mudah terkena penyakit dan (2) peka, mudah merasa.
Kelompok yang
lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan
bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok
yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian
yang pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.
2.3 Penyandang Cacat
Menurut
Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara
selayaknya. Dari sisi pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal : (a) Penyandang cacat fisik; (b) Penyandang
cacat mental; (c) Penyandang cacat fisik dan mental.
2.4 Kelompok Minoritas
Definisi
mengenai kelompok minoritas sampai saat ini belum dapat diterima secara universal.
Namun demikian yang lazim digunakan dalam suatu negara, kelompok
minoritas adalah kelompok individu yang tidak dominan
dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda
dari mayoritas penduduk. Minoritas sebagai 'kelompok' yang dilihat dari
jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
penduduk lainnya dari negara bersangkutan dalam posisi
yang tidak dominan.
Keanggotaannya
memiliki karakteristik etnis, agama, maupun bahasa yang berbeda dengan populasi
lainnya dan menunjukkan setidaknya secara implisit sikap solidaritas yang
ditujukan pada melestarikan budaya, tradisi, agama dan bahasa. Sehubungan
dengan hal tersebut beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini sering muncul
kerusuhan sosial yang dilatarbelakangi etnis dan agama. Hal ini merupakan
masalah yang sangat serius apabila tidak segera diselesaikan akan dapat mengancam
terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, permasalahan yang dihadapi berbagai
daerah di Indonesia adalah masih banyak terjadi diskriminasi terhadap
hak-hakkelompok minoritas, baik agama, suku, ras dan yang berkenaan dengan
jabatan dan pekerjaan bagi penyandang cacat, sehingga sampai saat ini dirasakan
masih 'belum terpenuhinya hak-hak kelompok minoritas'.
III. Pembahasan
Berbagai bukti
empiris menunjukan bahwa masih dijumpai keadaan dari kelompok rentan yang belum
sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Saat ini belum ada upaya dari pemerintah
dalam memberikan pelayanan guna mencapai pemenuhan hak-hak dari kelompok rentan
terutama yang menjadi fokus penulis yaitu bagi penyandang cacat dn para lansia.
Dengan adanya UU No 25 Tahun 2010 tentang Pelayanan Publik di
Indonesia tentunya memberikan
regulasi baru sekaligus saluran formal dalam mengapresiasi pelayanan publik
yang diterima oleh masyarakat. Keberatan kita akan pelayanan publik yang kita
dapatkan, saat ini dapat disalurkan melalui komisi Ombushment maupun
pembentukan lembaga lain yang difungsikan sebagai sarana pengaduan. Kedua, peran negara dalam UU
Pelayanan Publik juga mulai teridentifikasi bukan hanya sebagai regulator semata,
namun juga mengarah kepada fasilitator. Ketiga, mekanisme penanganan dan
penyelesaian pengaduan juga lebih terorganisir, serta jelas dan rapi.
Namun
demikian, di dalam UU pelayanan Publik ini masalah yang berkaitan dengan
pelayanan publik bagi kelompok rentan masih sangat minim pembahasannya dan
dalam pelaksanaannya pun belum banyak terlihat aksesibilitas pelayanan bagi
kelompok rentan terutama bagi penyandang cacat dan para lansia (lanjut usia).
Berkaitan
dengan accessible
pelayanan publik bagi
semua penggunannya. Pembedaan penyelenggaraan pelayanan publik bagi kelompok
rentan dengan masyarakat umum justru menjadi hambatan bagi keduanya untuk
memaksimalkan pelayanan yang disediakan negara. Dari kacamata kelompok rentan,
mereka tidak ada masalah ketika masyarakat umum menikmati pelayanan yang
diperuntukan bagi kelompok rentan. Begitupun sebaliknya. Hanya, selama ini
kelompok rentan sangat sulit untuk mengakses pelayanan publik yang notabene
mereka dapatkan dari berlakunya UU Pelayanan Publik. Alasannya sangat klasik,
yaitu para penyelenggara khususnya (swasta) tidak menyediakan pelayanan publik
untuk mereka. Padahal akses pelayanan publik bagi kelompok rentan diatur dalam
pasal 25 tentang pelayanan khusus.
Dalam hal ini, relasi hubungan korporasi (swasta) dengan
pemerintah harus diperkuat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peningkatan
kerjasama ini dapat berupa komitmen oleh korporasi untuk membuat pelayanan
publik bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan. Memang cukup sulit
jika harus menyediakan sarana dan prasarana pelayanan publik bagi dua kelompok
yang berbeda. Solusinya dapat dilakukan dengan mendesain semua pelayanan publik
yang ada dapat diakses oleh semua orang.
Untuk
itu perlu dilakukan reformasi pelayanan publik yang didalamnya merupakan
perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi dalam pelayanan publik, antara
lain kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas
aparatur, pengawasan. Hal yang penting dalam reformasi pelayanan publik adalah perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja. Hal-hal yang berkaitan dengan reformasi pelayanan publik bagi kelompok rentan, pertama perlu dilakukan perbaikan
sumber daya manusia yang mana sumber daya manusia yang memberikan pelayanan
kepada publik harus berkualitas, bermoral serta memiliki keinginan untuk
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat
dan juga sumber daya manusia harus disiapkan untuk memberikan pelayanan publik
bagi kelompok rentan terutama para penyandang cacat dan lansia. Kedua, berkaitan dengan public policy
yang mana kebijakan harus dibuat berdasarkan kehendak, kepentingan dan kebaikan
masyarakat secara luas bukan hanya untuk kepentingan pemerintah. UU pelayanan publik bagi kelompok rentan terutama bagi penyandang
cacat dan lansia perlu diberikan realisasi secara nyata dalam bentuk
aksesibilitas pelayanan publik sehingga membuat mereka tidak bergantung kepada
orang lain dan haknya untuk dilayani menjadi terlaksanakan dengan baik.
IV. Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah penulis sampaikan, dapat terlihat bahwa pemerintah
ternyata belum menjadikan pelayanan publik di Indonesia berjalan dengan baik,
masih sangat banyak pihak yang tidak dilayani terutama kelompok rentan khusunya
para penyandang cacat dan lansia. Fasilitas-fasilitas pelayanan publik belum
dapat digunakan oleh seluruh pihak sehingga dapat dikatakan pelayanan pubik di
Indonesia belum berorientasi kepada kelompok rentan.
Untuk
itu perlu dilakukan reformasi dalam pelayanan publik untuk mewujudkan aparat
dan pelayanan publik yang baik dan siap untuk melayani kelompok rentan yang
harus dibangun adalah dengan melakukan perubahan mind-set dan culture-set serta
pengembangan budaya kerja bagi aparat yang memberikan pelayanan publik,
sehingga muncul kesadaran yang tinggi dari aparatur untuk memberikan pelayanan
yang sebaik-baiknya bagi masyarakat dan tidak membeda-bedakan masyarakat baik
itu kelopmpok rentan.
Daftar Pustaka
Ibrahim, Amin. 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik. Bandung:
Mandar Maju.
Islamy, Irfan. 2000. Dasar-dasar Perumusan Kebijakan Negara.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kurniawan, Lutfi. dan Mokhammad Najih.
2008. Paradigma Kebijakan Pelayanan
Publik.
Lukman, Sampara. 1999. Manajemen Kualitas Pelayanan, Jakarta :
STIA-LAN.
Ratminto. dan Atik Septi Winarsih. 2008.
Manajemen Pelayanan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah.
Bandung: Fokus Media.
Yamir, Zulian. 2001. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa.
Yogyakarta: Ekonisia.
terimakasih banyak kak postingannya bermanfaat banget :)
BalasHapus