Entri Populer

Minggu, 13 Mei 2012

Reformasi Pelayanan Publik Bagi Kelompok Rentan di Indonesia


Dipresentasikan pada Konferensi Administrasi Negara (KAN) 2011 di Makasar
 
Abstrak

Inti dari adanya pemerintahan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat. Bagaimanapun tugas pemerintah ialah memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dalam keadaan apapun. Tulisan ini mengkaji bagaimana fenomena pelayanan publik yang terjadi di Indonesia beserta situasi di dalam pemerintahan yang dapat mengakibatkan baik buruknya pelayanan publik bagi masyarakat terutama bagi kelompok rentan yang selama ini belum terlihat adanya political will yang kuat mengenai pemberian pelayanan publik bagi kelompok tersebut seperti penyandang cacat, para lansia (lanjut usia), wanita, anak, minoritas, dan juga suku terasing yang aksesibilitas pelayanan menuju kelompok rentan yang mandiri masih belum sepenuhnya mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah. Dalam hal ini penulis memfokuskan pada para penyandang cacat dan lansia.
Selama ini penyandang cacat dan lansia sangat sulit untuk mengakses pelayanan publik yang notabene mereka dapatkan dari berlakunya UU Pelayanan Publik. Alasannya sangat klasik, yaitu para penyelenggara khususnya (swasta) tidak menyediakan pelayanan publik untuk mereka. Padahal akses pelayanan publik bagi kelompok rentan diatur dalam pasal 25 tentang pelayanan khusus. Dalam hal ini, relasi hubungan korporasi (swasta) dengan pemerintah harus diperkuat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peningkatan kerjasama ini dapat berupa komitmen oleh korporasi untuk membuat pelayanan publik bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan terutama bagi para penyandang cacat dan lansia.

Kata kunci:
Reformasi, pelayanan publik, kelompok rentan, penyandang cacat, lansia

 
I.         Pendahuluan

Saat ini, dengan adanya perubahan pemerintahan dari orde lama ke orde baru sampai kepada era reformasi menandakan bahwa di Indonesia sudah terjadi perubahan paradigma. Dapat diketahui bahwa era reformasi menuntut adanya pembagian kekuasaan (desentralisasi), pelayanan publik yang baik, dan partisipasi masyarakat yang tinggi dalam segala hal. Hal ini merupakan ciri dari paradigma New Public Service (NPS).
Berbicara mengenai pelayanan publik di Indonesia, jika ditelaah secara umm memiliki permasalahan mendasar. Pertama, rendahnya kualitas pelayanan. Tak dapat dipungkiri lagi kualitas produk layanan publik, kualitasnya tidak layak untuk digunakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat pada akhirnya tetap menggunakan produk tersebut dikarenakan ketiadaan alternatif layanan publik lainnya. Rendahnya kualitas dapat terlihat dari beberapa pelayanan publik mendasar seperti air, kesehatan, pendidikan dan transportasi. Ketersediaan air bagi masyarakat merupakan kebutuhan vital yang menopang hidup manusia. Kualitas air yang disalurkan PDAM tidak layak untuk diminum seperti di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Walaupun PDAM telah melakukan purifikasi air tetapi ketika pipa yang menyalurkan air telah berkarat, maka air diterima masyarakat telah tercemar.
Kedua, rendahnya kualitas penyelenggaraan layanan. Jika dikaji, hal ini di akibatkan paradigma yang tidak memposisikan masyarakat sebagai tujuan sekaligus subyek dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Masyarakat diperlakukan sebagai pihak yang tidak mempunyai daya tawar. Prosedur yang berbelit-belit, biaya mahal, ketiadaan standar pelayanan merupakan ciri umum penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Hak sipil warga sering dilanggar dalam proses pengurusan identitas penduduk seperti KTP, akte kenal lahir dan paspor. Pembuatan KTP yang seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan rangkaian prosedur yang harus dilalui. Birokratisasi di bidang kesehatan melahirkan cerita-cerita yang tak kalah memilukan, seorang pasien yang sudah dalam keadaan kritis harus menunggu kejelasan proses administratif sebelum mendapat perawatan yang layak dari pihak rumah sakit. Keluhan-keluhan seperti inilah yang sering muncul dari masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Ketiga, ketiadaan mekanisme komplain dan penyelesaian sengketa. Selama ini masyarakat tidak diposisikan sebagai subjek dalam penyelenggaraan pelayanan publik maka keluhan masyarakat tidak dianggap penting. Tak hanya dalam penanganan keluhan, sengketa antar masyarakat sebagai penerima layanan dengan penyelenggaraan sering berakhir dengan kalahnya masyarakat ataupun proses hukumnya terkatung-katung di pengadilan.
Keempat, ketiadaan ruang partisipasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan. Partisipasi publik bertujuan untuk memempatkan masyarakat sebagai subyek. Penempatan masyarakat sebagai subyek dalam pelayanan publik perlu dilakukan sebagai proses revisi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang selama ini hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah dengan tanpa melibatkan masyarakat dalam setiap prosesnya.
Kelima, yaitu hal yang terakhir yang menjadi fokus dalam penulisan ini ialah ketiadaan akses bagi kelompok rentan, penyandang cacat dan komunitas adat terpencil. Permasalahan kelima inilah yang sering menjadi dasar permasalahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Sebagai ilustrasi dalam bidang kesehatan, perubahan fungsi sosial rumah sakit dan puskesmas menjadi lembaga korporasi kesehatan yang mengakibatkan hilangnya nilai kemanusiaan di samping  biaya yang semakin mahal. Padahal rumah sakit pemerintah menjadi tujuan terakhir kelompok rentan untuk mencari pengobatan. Banyak tenaga medis dan juga rumah sakit menanyakan kejelasan siapa yang akan menanggung pembiayaan perawatan pasien sebelum menangani pasien. Banyak pasien telah menjadi korban karena kelalaian  petugas medis di ruamah sakit diakibatkan oleh rendahnya kualitas kinerja petugas medis atau paramedis.
Aksesibilitas pelayanan publik bagi kelompok penyandang cacat sangat minim. Hampir semua sarana dan prasarana publik, seperti jalan, gedung, toilet umum jembatan penyebrangan, terminal, transportasi umum dan lain sebagainya, tidak mempunyai fasilitas bagi penyandang cacat. Hal ini merupakan proses dehumanisasi dan peminggiran bagi penyandang cacat sehingga menjadi tergantung kepada yang lain, yang seharusnya dapat dilakukan mandiri.


II.      Kondisi Obyektif Kelompok Rentan
Kelompok rentan yang antara lain mencakup anak, kelompok perempuan rentan, penyandang cacat, dan kelompok minoritas. Untuk memberikan gambaran keempat kelompok masyarakat tersebut selama ini, maka penelaahan perlu diawali dengan mengetahui keadaan sebenarnya yang terjadi di dalam masyarakat.
2.1  Anak
Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak. Menurut Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2002, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan". Sedangkan menurut Pasal 1 KHA / Keppres No.36 Tahun 1990 "anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal". Disamping itu menurut pasal 1 ayat 5 UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, "anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya".

2.2     Kelompok Perempuan Rentan
Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No.39 tahun 1999 disebutkan bahwa yang termasuk kelompok rentan adalah orang lansia, anak-anak, fakir-miskin,wanita hamil, dan penyandang cacat. Oleh karena itu secara eksplisit hanya wanita hamil yang termasuk Kelompok Rentan. Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai: (1) mudah terkena penyakit dan (2) peka, mudah merasa.
Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.
 2.3     Penyandang Cacat
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal : (a) Penyandang cacat fisik; (b) Penyandang
cacat mental; (c) Penyandang cacat fisik dan mental.
 2.4  Kelompok Minoritas
Definisi mengenai kelompok minoritas sampai saat ini belum dapat diterima secara universal. Namun demikian yang lazim digunakan dalam suatu negara, kelompok
minoritas adalah kelompok individu yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk. Minoritas sebagai 'kelompok' yang dilihat dari jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
penduduk lainnya dari negara bersangkutan dalam posisi yang tidak dominan.
Keanggotaannya memiliki karakteristik etnis, agama, maupun bahasa yang berbeda dengan populasi lainnya dan menunjukkan setidaknya secara implisit sikap solidaritas yang ditujukan pada melestarikan budaya, tradisi, agama dan bahasa. Sehubungan dengan hal tersebut beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini sering muncul kerusuhan sosial yang dilatarbelakangi etnis dan agama. Hal ini merupakan masalah yang sangat serius apabila tidak segera diselesaikan akan dapat mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, permasalahan yang dihadapi berbagai daerah di Indonesia adalah masih banyak terjadi diskriminasi terhadap hak-hakkelompok minoritas, baik agama, suku, ras dan yang berkenaan dengan jabatan dan pekerjaan bagi penyandang cacat, sehingga sampai saat ini dirasakan masih 'belum terpenuhinya hak-hak kelompok minoritas'.


III.    Pembahasan
Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa masih dijumpai keadaan dari kelompok rentan yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Saat ini belum ada upaya dari pemerintah dalam memberikan pelayanan guna mencapai pemenuhan hak-hak dari kelompok rentan terutama yang menjadi fokus penulis yaitu bagi penyandang cacat dn para lansia.
Dengan adanya UU No 25 Tahun 2010 tentang Pelayanan Publik di Indonesia tentunya memberikan regulasi baru sekaligus saluran formal dalam mengapresiasi pelayanan publik yang diterima oleh masyarakat. Keberatan kita akan pelayanan publik yang kita dapatkan, saat ini dapat disalurkan melalui komisi Ombushment maupun pembentukan lembaga lain yang difungsikan sebagai sarana pengaduan. Kedua, peran negara dalam UU Pelayanan Publik juga mulai teridentifikasi bukan hanya sebagai regulator semata, namun juga mengarah kepada fasilitator. Ketiga, mekanisme penanganan dan penyelesaian pengaduan juga lebih terorganisir, serta jelas dan rapi.
            Namun demikian, di dalam UU pelayanan Publik ini masalah yang berkaitan dengan pelayanan publik bagi kelompok rentan masih sangat minim pembahasannya dan dalam pelaksanaannya pun belum banyak terlihat aksesibilitas pelayanan bagi kelompok rentan terutama bagi penyandang cacat dan para lansia (lanjut usia).
        Berkaitan dengan accessible pelayanan publik bagi semua penggunannya. Pembedaan penyelenggaraan pelayanan publik bagi kelompok rentan dengan masyarakat umum justru menjadi hambatan bagi keduanya untuk memaksimalkan pelayanan yang disediakan negara. Dari kacamata kelompok rentan, mereka tidak ada masalah ketika masyarakat umum menikmati pelayanan yang diperuntukan bagi kelompok rentan. Begitupun sebaliknya. Hanya, selama ini kelompok rentan sangat sulit untuk mengakses pelayanan publik yang notabene mereka dapatkan dari berlakunya UU Pelayanan Publik. Alasannya sangat klasik, yaitu para penyelenggara khususnya (swasta) tidak menyediakan pelayanan publik untuk mereka. Padahal akses pelayanan publik bagi kelompok rentan diatur dalam pasal 25 tentang pelayanan khusus. Dalam hal ini, relasi hubungan korporasi (swasta) dengan pemerintah harus diperkuat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peningkatan kerjasama ini dapat berupa komitmen oleh korporasi untuk membuat pelayanan publik bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan. Memang cukup sulit jika harus menyediakan sarana dan prasarana pelayanan publik bagi dua kelompok yang berbeda. Solusinya dapat dilakukan dengan mendesain semua pelayanan publik yang ada dapat diakses oleh semua orang.
            Untuk itu perlu dilakukan reformasi pelayanan publik yang didalamnya merupakan perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi dalam pelayanan publik, antara lain kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas aparatur, pengawasan. Hal yang penting dalam reformasi pelayanan publik adalah perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja. Hal-hal yang berkaitan dengan reformasi pelayanan publik bagi kelompok rentan, pertama perlu dilakukan perbaikan sumber daya manusia yang mana sumber daya manusia yang memberikan pelayanan kepada publik harus berkualitas, bermoral serta memiliki keinginan untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan juga sumber daya manusia harus disiapkan untuk memberikan pelayanan publik bagi kelompok rentan terutama para penyandang cacat dan lansia. Kedua, berkaitan dengan public policy yang mana kebijakan harus dibuat berdasarkan kehendak, kepentingan dan kebaikan masyarakat secara luas bukan hanya untuk kepentingan pemerintah. UU pelayanan publik bagi kelompok rentan terutama bagi penyandang cacat dan lansia perlu diberikan realisasi secara nyata dalam bentuk aksesibilitas pelayanan publik sehingga membuat mereka tidak bergantung kepada orang lain dan haknya untuk dilayani menjadi terlaksanakan dengan baik.


IV.    Kesimpulan
            Dari pemaparan yang telah penulis sampaikan, dapat terlihat bahwa pemerintah ternyata belum menjadikan pelayanan publik di Indonesia berjalan dengan baik, masih sangat banyak pihak yang tidak dilayani terutama kelompok rentan khusunya para penyandang cacat dan lansia. Fasilitas-fasilitas pelayanan publik belum dapat digunakan oleh seluruh pihak sehingga dapat dikatakan pelayanan pubik di Indonesia belum berorientasi kepada kelompok rentan.
            Untuk itu perlu dilakukan reformasi dalam pelayanan publik untuk mewujudkan aparat dan pelayanan publik yang baik dan siap untuk melayani kelompok rentan yang harus dibangun adalah dengan melakukan perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja bagi aparat yang memberikan pelayanan publik, sehingga muncul kesadaran yang tinggi dari aparatur untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat dan tidak membeda-bedakan masyarakat baik itu kelopmpok rentan.


 Daftar Pustaka

Ibrahim, Amin. 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik. Bandung: Mandar Maju.
Islamy, Irfan. 2000. Dasar-dasar Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kurniawan, Lutfi. dan Mokhammad Najih. 2008. Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik.
Lukman, Sampara. 1999. Manajemen Kualitas Pelayanan, Jakarta : STIA-LAN.
Ratminto. dan Atik Septi Winarsih. 2008. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah. Bandung: Fokus Media.
Yamir, Zulian. 2001. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Yogyakarta: Ekonisia.


1 komentar: