Entri Populer

Selasa, 04 Januari 2011

Korupsi "Franklin"


      Policy Implementation atau implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Ripley & Franklin memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kebijakan.
       Pendekatan kepatuhan memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasi. Menurut Ripley & Franklin, terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni:
(1)   banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi justru kurang diperhatikan
(2)   adanya program yang tidak didesain dengan baik
            Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan implementor agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian.
Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor non-organisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
   Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu:
(1)   kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan
(2)  kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam  menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual
            Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan process driven approach (pendekatan proses implementasi) yang berkaitan dengan perspektif kepatuhan dan goals driven approach (pendekatan hasil) yang berkaitan dengan perspektif faktual. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.
            Melihat dari pemahaman mengenai implementasi kebijakan yang dikemukan oleh Ripley & Franklin, dapat kita ketahui bahwa dalam kaitannya dengan kasus korupsi yang banyak terjadi di negara Indonesia, korupsi saat ini hanya dilihat dari perspektif kepatuhan seorang aparatur terhadap peraturan atau atasannya, tetapi banyak yang tidak melihat dari perspektif faktualnya, akan tujuan dan manfaat yang dicapainya, padahal menurut Riant Nugroho, implementasi kebijakan adalah cara sebuah kebujakan dapat mencapai tujuannya.
            Ironis sekali bila kita melihat kasus-kasus korupsi saat ini, yang mana walaupun tujuan sudah tercapai namun sering kali aparat yang dapat mewujudkan tujuan tersebut dicap sebagai koruptor hanya karena dia tidak melaksanakan ketentuan atau prosedur yang berlaku.
            Salah satu contohnya adalah kasus SISMINBAKUM (Sistem Administrasi Badan Hukum) yang melibatkan banyak pejabat di Kementerian Hukum dan HAM pada masa pemerintahan Abdulrahman Wahid yang pada waktu itu jabatan menterinya adalah Yusri Ihza Mahendra. Sementara itu para pejabat yang di tuduhkan terlibat korupsi dari pengadaan SISMINBAKUM ini diantaranya Zulkarnaen Yunus,Syamsudin Manan Sinaga, Romli Atmasasmita dan sekarang Yusril Ihza Mahendra.
            Namun, jika ditelaah kasus ini bermula pada terobosan Menteri Hukum dan HAM yang ingin mempercepat proses pembuatan izin pendirian perusahaan (PT) di Kementerian Hukum dan HAM, yang semula proses pembuatan izin tersebut bisa memerlukan waktu beberapa minggu bahkan beberapa bulan dan ada yang sampai tahunan untuk mendapatkan izin pendirian perusahaan tersebut menjadi badan hukum.      Dengan adanya sisminbakum ini proses pembuatan surat izin pendirian sebuah perusahaan akan sangat cepat berkisar dua hingga tiga hari, sebab dengan menggunakan teknologi informasi secara online diseluruh Indonesia membuat para notaris baik di kota maupun di daerah tidak perlu untuk bolak-balik ke kantor Kementrian Hukum dan HAM di Jakarta untuk mengurusi perizinan tersebut, namun cukup mendaftar secara online melalui teknologi informasi dalam hal ini internet sehingga dapat dengan mudah mendaftarkan perusahaan yang akan didirikan dan mengeceknya ke bank data pusat di Kementerian Hukum dan HAM dengan sekali klik saja, sehingga menekan biaya administrasi jika dilakukan secara manual.
            Namun, dalam kenyataanya terobosan tersebut nyatanya tetap saja dipermasalahkan dengan ditetapkanya beberapa mantan pejabat di Kementerian Hukum dan HAM sebagai tindak pidana dan dengan dakwaan merugikan keuangan negara. Padahal pada saat pembuatan sistem tersebut negara dalam keadaan krisis dan tidak mempunya keuangan yang cukup untuk membuat sistem tersebut, sehingga dengan kebijakan presiden Abdulrahman Wahid akhirnya Kementerian Hukum dan HAM menggandeng pihak swasta untuk mengelola sisminbakum baik dari segi pendanaan serta bekerjasama dengan koperasi di Kementerian Hukum dan HAM sebagai rekanan, dan kepanjangtanganan dari Kementrian Hukum dan HAM. Sehingga dalam hal ini tidak ada uang negara (APBN) yang masuk untuk mendanai proses berjalanya sisminbakum ini.
            Selain kasus tersebut, kita bisa melihat pada kasus pengadaan tinta pemilu legislatif Tahun 2004, yang menyeret seorang guru besar yang bernama Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira. Dalam kasus ini, Prof. Rusadi dijerat dengan tuduhan penunjukan langsung terhadap rekanan, yang mana dalam proses penunjukan kangsung yang diatur dalam Kepres No. 80 Tahun 2003 haruslah menunjuk tidak lebih dari satu rekanan, namun Prof. Rusadi melakukan penunjukan langsung kepada 7 rekanan, 4 rekanan untuk tinta impor dan 3 rekanan untuk tinta lokal.
            Bila kita melihat kasus ini dari pendekatan kepatuhan, tentunya Prof. Rusadi melanggar ketentuan dari Kepres tersebut, namun disisi lain kita juga harus melihat kondisi yang terjadi pada pemilu legislatif tersebut yang mana pada saat itu, partai politik yang mengikut pemilu cukup banyak yaitu sebanyak 24 partai tentunya secara logika dibutuhkan pasokan tinta yang sangat banyak. Disisi lain Kepres ini baru diundangkan pada November 2003 sedangkan pada bulan Januari 2004 proses kegiatan KPU telah berjalan sehingga dibutuhkan waktu yang sangat cepat untuk memahami Kepres tersebut. Masalah lain yang terjadi pada saat itu, anggaran yang turun untuk pemilu ini datangnya terlambat. Oleh sebab itu panitia memutuskan untuk melakukan penunjukan langsung kepada tujuh rekanan karena dalam waktu sebulan pasokan tinta harus sudah tersedia, dan hal ini bisa dilakukan bila panitia menujuk rekanan lebih dari satu.
            Di dalam Administrasi Negara keputusan yang diambil ini dikuatkan dengan istilah yang disebut diskresi (freises ermessen), yaitu keleluasaan/kebebasan bagi eksekutif untuk bertindak/tidak bertindak bila terjadi suatu kemndegan. Hal ini juga sesuai dengan teori dari Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan adalah government choose to do or not choose to do. Jadi pemerintah berhak untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu hal.
            Dalam kasus ini, hukum tidak melihat adanya diskresi tersebut dan juga tidak melihat pendekatan yang kedua yaitu faktual. Dengan diskresi yang dilakukan olehRusadi, pelaksanaan pemilu menjadi berjalan tepat waktu, nama baik Indonesia di mata dunia tetap terjaga, dana yang digunakan lebih kecil dibandingkan pemilu Tahun 1999, mutunya pun jauh lebih baik. Hukum di sini hanya menilai dari pendekatan yang pertama saja, hukum juga tidak melihat bahwa tujuan dari pengadaan barang dan jasa adalah tepat target, dana, mutu, waktu, dan manfaat sudah tercapai.

Public Private Partnership


           Berbicara mengenai Public Private Partnerships (PPPs) tentunya mengingatkan kita terhadap kegiatan “Indonesia Infrastructure Summit di Jakarta, 14 – 17 April 2010 beberapa bulan yang lalu. Maksudnya jelas, yaitu untuk mensosialisasikan konsep Public Private Partnerships (PPPs) dan mengundang minat investor swasta untuk bekerjasama dalam penyediaan infrastruktur (seperti jalan tol, energi listrik, pelabuhan udara dan sebagainya) di Indonesia.
            Arti dari Public Private Partnerships (PPPs) itu sendiri tentunya tidak asing, diantaranya dapat dilihat pengertian dari William J. Parente dari USAID Environmental Services Program, definisi PPPs adalah:
            an agreement or contract, between a public entity and a private party, under which: (a) private party undertakes government function for specified period of time, (b) the private party receives compensation for performing the function, directly or indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from performing the function and, (d) the public facilities, land or other resources may be transferred or made available to the private party.
            Jadi Public Private Partnerships (PPPs) merupakan suatu persetujuan atau kontrak, antara kesatuan masyarakat yang diwakili oleh pemerintah dengan sektor swasta untuk menyediakan layanan publik dengan sumber biaya ditanggung oleh pengguna jasa dan bukan oleh pembayar pajak, dengan ketentuan lain sebagai berikut:
1.    Pihak swasta menjalankan fungsi pemerintah untuk periode waktu tertentu.
2.    Pihak swasta mendapatkan kompensasi dari pelaksanaan fungsi tersebut baik secara langsung atau pun tidak langsung.
3.    Pihak swasta bertanggung jawab terhadap resiko dari pelaksanaan fungsi tersebut.
4.    Fasilitas publik, tanah ataupun sumber daya yang lain dapat digunakan oleh pihak swasta.
          Sebagai contoh untuk lebih memahami apa yang dimaksud PPPs, dapat dilihat dari salah satu kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam pembangunan rumah sakit. Dalam konsep PPPs, untuk membangun rumah sakit tersebut, seluruh biaya dan pembangunan rumah sakit ditanggung oleh pihak swasta dan kemudian disewakan kepada otoritas rumah sakit. Pihak swasta dalam pembangunan rumah sakit berperan sebagai tuan tanah, menyediakan layanan rumah tangga dan layanan non medis rumah sakit, sementara rumah sakit menyediakan layanan medis. Selanjutnya pihak swasta akan mendapatkan pembayaran/keuntungan dari pengguna jasa rumah sakit.
            Selain itu, di Indonesia, jenis proyek infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan investor swasta meliputi:
1.    Transportasi (pelabuhan laut, sungai atau danau, pelabuhan udara, jaringan rel dan stasiun kereta api).
2.    Jalan (jalan tol dan jembatan tol).
3.    Pengairan (saluran pembawa air baku).
4.    Air minum (bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum).
5.    Air limbah (instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama) serta sarana persampahan (pengangkut dan tempat pembuangan).
6.    Telekomunikasi (jaringan telekomunikasi).
7.    Ketenagalistrikan (pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik).
8.    Minyak dan gas bumi (pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi atau distribusi migas).
Adapun aturan mengenai PPPs terdapat pada Perpres 67 Tahun 2005. Dalam Perpres tersebut dinyatakan bahwa pelaksanaan PPPs dilakukan diantaranya berdasarkan prinsip: adil, terbuka, transparan, dan bersaing (competition). Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan transparency and competition, manfaat yang dapat diraih adalah:
1.    Terjaminnya mendapatkan harga pasar yang terendah (lowest market prices).
2.    Meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPPs.
3.    Mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan tanpa sovereign guarantees (jaminan pemerintah).
4.    Mengurangi risiko kegagalan proyek.
5.    Dapat membantu tertariknya bidders (penawar) yang sangat berpengalaman dan berkualitas tinggi.
6.    Mencegah aparat pemerintah dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dalam Perpres yang sama juga dijelaskan bahwa tujuan pelaksanaan PPPs adalah untuk:
1.    Mencukupi kebutuhan pendanaaan secara berkelanjutan melalui pengerahan dana swasta.
2.    Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat.
3.    meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan infrastruktur serta
4.    mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna.
Lalu, bagaimana dengan pelaksanaan di negara-negara lain? Pada tabel dibawah ini dikemukakan alasan berbagai negara yang memilih konsep PPPs. Dari tabel tersebut, bisa terlihat bahwa alasan memilih konsep PPPs itu bervariasi. Ada negara yang ingin meningkatkan lapangan kerja (India), ada yang ingin memperoleh teknologi baru atau berbagai alasan lainnya.
Negara yang Memilih PPPs
No
Negara
Alasan Memilih PPP
1
United States
To improve operational efficiencies
2
United Kingdom
To increase competition
3
South Korea
To access new and proven technologies
4
India
To create employment opportunities
5
Thailand
To provide services not currently provided
6
Philippines
To create transparent procurement
7
South Africa
Mobilize additional investment funds
Sumber: Parente, 2006.

Public Vs Private Goods


           Public goods (barang publik) pada prinsipnya merupakan barang yang memiliki sifat no rival consumption dan non eksklusif. No rival consumption artinya barang tersebut dapat dikonsumsi bersamaan pada waktu yang sama, tanpa saling meniadakan manfaat. Dalam arti lain masyarakat tidak mempunyai pilihan terhadap barang tersebut dan semua orang bebas untuk menggunakannya bahkan ada yang wajib untuk digunakan masyarakat. Misalkan, Alun-alun Kota Bandung yang dapat dinikmati puluhan orang sekaligus pada waktu yang sama dan tidak ada yang dirugikan antara masing-masing orang. Sedangkan, non eksklusif adalah jika seseorang tidak perlu membayar untuk menikmati manfaat barang publik. Seperti udara, semua orang bebas untuk menggunakannya. Begitupun jalan provinsi, semua orang bebas untuk menggunakan jalan provinsi tanpa harus membayar.
            Sedangkan yang disebut dengan private goods (barang private) adalah banrang yang memiliki sifat rival consumption dan eksklusif, artinya barang tersebut tidak dapat dinikmati secara bersama tanpa meniadakan manfaat dan untuk mengkonsumsi barang tersebut diperlukan syarat, seperti harus membayar. Misalkan, handphone, mobil pribadi, rumah pribadi, dll. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel klasifikasi barang di bawah ini:
SIFAT BARANG
EKSKLUSIF
NON EKSKLUSIF
RIVAL
Barang Private
(Private Goods)
Barang Publik Semu
(Quasi Public Goods)
NON RIVAL
Barang Publik Semu
(Quasi Public Goods)
Barang Publik
(Publik Goods)

Selanjutnya dari tabel tersebut ada yang disebut dengan rival tetapi non eksklusif dan non rival tetapi eksklusif. Rival tetapi non eksklusif, artinya barang ini tidak dapat dikonsumsi secara bersamaan (rival), namun untuk menikmatinya tidak harus membayar (non eksklusif), misalnya: konsultasi psikologi mahasiswa. Sedangkan rival tetapi eksklusif artinya barang ini dapat dikonsumsi bersamaan (non rival), tetapi untuk menikmatinya harus membayar, misalkan: bis kota.
Namun, perlu diingat, suatu barang dikatakan publik bukan karena wujudnya melainkan sifatnya pada saat dikonsumsi dan dalam dunia nyata jarang sekali barang yang bersifat publik atau privat 100%, kebanyakan bersifat publik semu dengan derajat kesemuan yang berbeda-beda.
            Bila kita menyoroti praktek dari barang publik dengan barang private di Indonesia, seringkali terjadi penyimpangan. Misalkan, dalam hal Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga,dll. Sebagai contoh,  KTP dapat dikatakan sebagai barang publik karena negara mewajibkan seluruh warga negaranya untuk memiliki KTP bagi setiap individu yang telah mencapai usia tertentu sesuai Undang-undang kependudukan. Namun, ironisnya barang publik yang pada hakekatnya tidak perlu dipungut pembayaran karena memang sudah menjadi keharusan seluruh warga negara Indonesia untuk memiliki KTP, saat ini pembuatan KTP masih memungut pembayaran dari masyarakat. Padahal sudah jelas bahwa yang dikatakan barang publik maka tidak perlu ada pemungutan biaya dari masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih buruknya kinerja para abdi masyarakat dalam menjalankan aturan yang ada.